Thursday, September 3, 2009

Oleh: Abi

Kontroversi penanganan dan tindakan preventif pasca tragedi peledakan bom di JW Marriott dan Ritz Carlton, 17 Juli lalu, telah membuat semua pihak kalang kabut. Bak bola salju, kasus ini bergulir liar menghantam siapa saja. Pemerintah, TNI, Polri, ormas, dan parpol pun berusaha menghindarinya. Mengapa?

Apalagi isu tersebut semakin melebar dengan wacana Polri mengawasi aktivitas dakwah. Meskipun kemudian Polri membantahnya sendiri dan menyalahkan media dalam liputannya. Kekerasan tidak akan dapat diatasi dengan kekerasan pula, yang ada hanya menimbulkan masalah baru. Inilah cermin dari kepanikan dan kegagalan dalam mencegah anarki teror yang tak mampu mencari akar permasalahan.

Terorisme adalah tindakan anarkis yang sering diklaim jihad (fii sabiilillah) sebagai justifikasi tindakan para pelakunya. Padahal jihad yang secara etimologis berarti 'berjuang dengan sungguh-sungguh', merupakan tindakan yang sangat mulia dan wajib dicintai seorang muslim. (Q.S. At-Taubah:24).

Sudah banyak buku dan artikel (terutama dalam fiqh dakwah) yang mengupas jihad fii sabiilillah secara komprehensif dengan tahapan-tahapannya. Tahapan seperti jihad dalam hati (selemah-lemah iman), dengan lisan (tulisan), dengan tangan (kekuasaan), hingga jihad perang (puncak Jihad yang tertinggi), kesemuanya harus memenuhi aturan yang berlaku tiap daerah (negara).

Kurangnya pemahaman atau biasnya pembentukan opini oleh media memberikan ruang makna jihad bergeser. Walhasil umat Islam menjadi enggan untuk jihad fii sabiilillah, karena stigma negatif mengarah bahwa jihad sama dengan terorisme.

Diperlukan kerja sama berbagai pihak terutama mujahid dakwah, ustadz, dan ulama untuk kembali meluruskan arti dan kedudukan jihad di hati ummat islam. Dukungan dari umat, pemerintah, Polri, serta media dominan tanpa bias akan sangat efektif untuk memerangi terorisme.

0 comments:

Post a Comment