Thursday, April 30, 2009


Salim A. Fillah

… Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi… (Ar Ra’d: 17)

Dalam temaram cahaya unggun yang meretih di luar jeruji jendela sempit, Ibnu Taimiyah melihat titik titik bening di mata para muridnya. Ia tersenyum. Kejernihan disorot matanya menebar, mendesak gemuruh api yang memakan kayu berkeretak. Keteduhan itu, tatapan penuh kasih itu, seperti sapuan salju di dada mereka yang membara. Kemudian, penjara kota Damaskus di tahun 728 H, menjadi saksi kata katanya yang abadi menyejarah.

“Apa yang dilakukan musuh musuhku kepadaku? Demi Allah, jika mereka memenjarakanku, inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.” Tembok-tembok yang lumutnya mongering hitam, lantai yang mencium mesra wajah sujudnya di malam dingin, dan besi-besi jeruji berkarat siam khidmat.

“Apa yang harus kami lakukan, wahai Guru?”

“Beberapa hari ini, Sultan telah melarang penjaga memberiku pena, kertas dan tinta. Tolong lemparkan arang-arang itu ke dalam… sungguh, aku ingin menulis.” Ya, mulai dari itu, dari arang yang menari di atas tembok saksi, salah satu karya besarnya yang berjudul Risalatul Hamawiyah dipahatkan untuk keabadian. Keabadian nama besar seorang Syaikhul Islam. Keabadian dakwah dan jihadnya. Keabadian atas hasad orang orang kerdil jiwa yang iri padanya.

Ketika ia wafat, buku-bukunya dihancurkan. Muridnya, Ibnul Qayyim Al Jauziyah diarak keliling kota, terikat di atas gerobak sampah. Anak anak kecil berlarian seiring ejek tawa para dewasa, mengolok, meludahi, dan melemparinya dengan buah busuk.

Hari ini, dalam catalog hampir semua perpustakaan orang menjumpai nama Ibnu Taimiyah. Atau di toko buku. Ada. Selalu ada.

Tetapi jika makna abadi bagi sebuah buku hanyalah keberadaan, maka sungguh sederhana ia. Lebih dari itu, ia adalah pewaris nilai. Apapun itu. Baik atau buruk. Maka dalam Islam ada konsep sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Ada keshalihan jariyah, tetapi juga ada dosa yang terus mengalir. Maka apa yang engkau wariskan?

Berbahagialah Ibnu Taimiyah. Setiap huruf yang ia tuliskan tumbuh menjadi dzarrah kebaikan, memicu reaksi berantai yang mengalirkan pahala dari sisi-Nya. Adakah Niccolo Machiavelli menyesal ketika tahu bahwa Il Principe menjadi sahabat lekat bukan hanya Pangeran Cesare de Borgia penguasa cerdik yang ia cantumkan di halaman persembahan-, tetapi juga Napoleon dan Hitler? Juga Stalin yang akan menyumbangkan pembantaian 20 juta manusia sebagai tafsir karyanya?

Jika kata adalah sepotong hati, seperti kata Abul Hasan Ali An Nadwi, maka semoga buku adalah cinderajiwa. Bagi mukmin sejati, ia adalah sekelumit manikam yang diuntai dari ketulusan terdalam. Ia adalah huruf-huruf yang mengenalkan pahatan makna dari prasati nurani penulisnya. Maka sucilah buku sebagai mana suci jiwa yang menuangkan inspirasimya. Maka abadilah buku sebagaimana abadinya niat suci penulisnya. Meski mereka masih manusia. Ada salah ada lupa.

Anggun dan bijak Imam Besar ahli hadits, Syamsudin Adz dzahabi berkata tentang Ihyaa ‘Uluumiddin karya Al Ghazali, “Kalau saja tidak ada ilmu musthalahul hadits, maka inilah salah satu buku terbaik sepanjang masa.” Ya, iapun mengabadi hingga kini meski kita tak menyaksikan bagaimana penulisnya kemudian menyadari indahnya hadits-hadits shahih Rasulullah. Abu Hamid Al Ghazali wafat dengan Shahih Al Bukhari terpeluk erat di dadanya. Niat sucinyalah yang mengabadi.

Niat suci. Ikhlas. Allah telah membuat perumpamaan yang indah tentang keikhlasan,

“…Di antara kotoran dan darah, ada susu yang khalis, -ikhlas, murni-, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (An Nahl:66)

Laiknya susu yang murni itu, keikhlasan mengambil tempat dalam ancaman ketakmurnian. Ada kotoran dan darah. Tetapi susu itu murni, bergizi, bermanfaat dan mudah ditelan. Sungguh jika seorang penulis ikhlas, ia hati, ucapan, tulisan, dan tindakannya akan murni, bergizi, bermanfaat dan mudah ditelan. Mudah dicerna menjadi energi jiwa. Aduhai sunnguh malang meminum susu bercampur sedikit kotoran atau darah. Kalaupun tak muntah, jadilah penyakit. Semalang menyerap buku yang ditulis tanpa keikhlasan. Tetapi…, betapa sulitnya ikhlas itu.

Bersyukurlah, sejarah mencatat nama Abul Faraj Ibnul Jauzy. Ia bukan raja, bukan penguasa, kata ustadz Anis Matta dalam serial cintanya. Tetapi 50.000 orang yang hadir tiap kali ia menggelar majelisnya di Baghdad senantiasa menitikkan air mata bersamanya merasai keagungan Allah. Melalui lisannya, 30.000 orang yang tersesat kembali ke pangkuan hidayah. Dan tulisan-tulisannyapun mengabadi. Seperti Shaidul Khathir, yang oleh ‘Aidh Al Qarni disebut, “Buku paling bagus dan paling menarik yang pernah saya baca”

Masih ada banyak makna ketika buku adalah cinderajiwa seorang mukmin sejati. Seperti Fathul Barii, penjelasan paling mengagumkan atas Shahih Al Bukhari. Ia adalah saksi atas doa seorang Ibnu Hajar Al ‘Asqalani,”Ya Allah, jadikan diriku melabihi Adz Dzahabi!” Bukan iri, bukan sombong, atau arogan. Hanya sebuah perlombaan indah untuk meraih ridha Allah. Maka ketika Imam Asy Syaukani diminta mensyarah buku yang sama, ia menjawab,” Laa hijrata ba’dal Fath, tiada hijrah setelah Fathul Makkah, tiada syarah sesudah Fathul Barii.

Ya, cinta. Sebagai cinderajiwa terkadang buku juga mengabadikan cinta penulisnya. Cinta yang besar, cinta yang agung, cinta yang suci. Betapa tulus seorang ibu membesarkan putera yatimnya dalam papa, maka sang putera pun mencintainya. Inilah kisah Asy Syafi’i dan ibundanya. Kelak, untuk sang ummi, ia menulis buku induk fiqihnya yang luar biasa. Ia memberinya judul Al Umm, Sang Ibunda.

Buku, sang cinderajiwa juga menjadi sisi lain yang mengutama. Hasan Al Banna memang berkata, “Saya tidak mencetak buku, saya mencetak kader!” Tetapi kecintaannya yang begitu tinggi pada da’wah tak dapat ditutupi dari Majmuu’atur Rasaail, kumpulan risalah kecilnya dan bahkan Mudzakkkiratud Da’wah wad Da’iyyah, memoarnya yang ditujukan untuk da’wah dan para da’inya.

Atau, cinderajiwa itupun mengabadikan ruh perjuangan, spirit menyala, dan jihad penulisnya. Benarlah ‘Abdullah ‘Azzam ketika mengatakan bahwa sejarah Islam hanya ditulis dengan nuansa dua warna. Hitam tinta para ‘ulama dan merah darah para syuhada’. Ia, lelaki yang meninggalkan duduk manis mengajar mahasiswa untuk tegak mengokang Kalashnikov di antara hujan peluru itu telah menuliskan kedua warnanya untuk kita.

Saat hadir pertama kali, di jalanan Kairo 8000 jilid Fii Zhilaalil Quraan dibakar. Cukuplah memiliki Ma’alim fith Thariq sebagai alasan untuk memasuki penjara perang Abdel Nasser sepuluh tahun lamanya. Subhanallaah… Sesungguhnya, tak seorangpun mengetahui kapan dan di mana ruhnya dipanggil Ilahi. Tetapi Sayyid Quthb, lelaki kurus dengan kata-kata menyala yang menulis kedua buku itu telah meyakini dan menuliskan kalimat ini jauh sebelum kematian menjemputnya:

Kalimat-kalimat kita menjadi boneka lilin
Jika kita mati untuk mempertahankannya
Maka saat itulah ruh merambahnya
Hingga kalimat-kalimat itu hidup selamanya


Kalau saja dia hanya bicara, kata-kata ini akan menjadi hampa. Tetapi Sayyid Quthb menyongsong janji pada Rabbnya. Ia menjemput syahidnya. Maka salam untuknya, “Kalimat-kalimat itu hidup selamanya… Abadilah cinderajiwa!

0 comments:

Post a Comment