Sunday, May 24, 2009

Islam telah melahirkan satu generasi manusia yang paling istimewa di dalam sejarahnya dan sejarah kemanusiaan lainnya. Ini satu fakta dan kenyataan yang tak terbantahkan yang di dalamnya mengandung nilai-nilai tertentu yang harus diperhatikan dan renungkan dengan sungguh-sungguh, agar dapat menyelami rahasianya.

Al-Quran yang menjadi sumber dakwah ini masih berada bersama-sama kita. Allah SWT telah memberikan jaminan untuk memelihara Al-Quran, dan telah mengetahui bahwa dakwah ini harus terus tegak selepas zaman Rasulullah SAW.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al Hijr: 9)

Sedang Hadits Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk perjalanan hidup dan sirahnya yang mulia itu juga masih ada di samping kita. Keduanya juga telah ada bersama-sama dengan generasi yang terdahulu itu, tidak hilang oleh perjalanan sejarah dan tidak lapuk oleh perkembangan zaman; hanya diri Rasulullah SAW saja yang tidak lagi bersama kita sekarang.

Maka ketiadaan diri Rasulullah SAW itu tidak boleh dijadikan alibi atas kegagalan dakwah di zaman ini. Pasti ada sebab lain yang membedakan antara generasi kita dengan generasi sahabat.

Lalu apa yang membedakan?

Sumber pokok yang dijadikan rujukan oleh generasi pertama itu ialah Al-Quran, hanya Al-Quran saja. Hadis Rasulullah SAW dan petunjuk-petunjuk beliau adalah semata-mata merupakan penafsiran kepada sumber utama itu. Ketika `Aisyah Radhiallahu'anha ditanya mengenai perilaku dan perjalanan hidup Rasulullah SAW maka beliau menjawab:

“Perilaku dan perjalanan hidup beliau [Rasulullah SAW] itu ialah Al-Quran” (Hadis riwayat Nasai)

Hanya Al-Quran sajalah yang menjadi sumber panduan mereka, perjalanan hidup dan gerak-gerik mereka. Ini bukanlah karena umat manusia di zaman itu tidak punya peradaban, tidak punya kebudayaan, tidak punya pelajaran, tidak punya buku karangan dan tidak punya kajian.

Karena, di sana juga telah wujud peninggalan peradaban Yunani (Greek), ilmu mantiknya, falsafah dan keseniannya, yang juga masih menjadi sumber pemikiran Barat hingga sekarang; malah di sana juga telah wujud peradaban Parsi, keseniannya, sajaknya, syair dan dongengnya, kepercayaan dan sistem perundangannya, serta peradaban lain, seperti India, China.Romawi dan Parsi berada di sekeliling semenanjung Arab, baik di utara maupun di selatan. Ditambah lagi agama Yahudi dan Nasrani yang telah ada di tengah-tengah semenanjung itu sejak berapa lama.

Jadi bukanlah faktor kekurangan peradaban dan kebudayaan duniawi yang menyebabkan generasi pertama itu merujuk kepada Kitab Allah (Al-Quran) saja dalam masa pertumbuhan mereka, tapi justeru karena “planning” yang telah ditentukan dan program yang telah diatur.

Rasulullah SAW bertujuan membentuk satu generasi yang bersih hatinya, bersih pemikirannya, bersih pandangan hidupnya, bersih perasaannya, dan murni jalan hidupnya dari unsur lain selain landasan Ilahi yang terkandung dalam Al-Quranul Karim.

Bagaimana kemurkaan Rasulullah SAW ketika beliau melihat Sayyidina Umar bin Al-Khattab R.A. memegang sehelai kitab Taurat. Melihat keadaan ini beliau pun bersabda:

“Demi Allah sekiranya Nabi Musa masih hidup bersama-sama kamu sekarang ini, tidak halal baginya melainkan mesti mengikut ajaranku.” (Hadis riwayat Al-hafidz Abu Ya'la dari Hammad dari Asy-sya'bi dari Jabir)

Lalu, apakah yang telah terjadi saat ini?

Pertama, Sumber-sumber panduan itu saat ini telah bercampur baur! Sumber itu telah dimasuki falsafah Yunani (Greek), dongeng-dongeng dan pandangan hidup Parsi, cerita-cerita Israeliat Yahudi, falsafah Ketuhanan ala-Kristian yang telah bercampur baur di dalam tafsir Al-Quran dan ilmu Al-Kalam, dan juga telah dimasuki oleh peninggalan peradaban zaman lampau yang sukar dikikis.

Di samping itu, banyak lagi sumber panduan lain yang telah bercampur baur dengan tafsir Al-Quran, ilmu Al-Kalam, ilmu fiqih dan ilmu ushuluddin. Campuran panduan inilah yang telah melahirkan generasi-generasi berikutnya. Karena itulah maka bentuk generasi pertama yaitu generasi para sahabat Rasulullah SAW, tidak lahir lagi setelah mereka.

Memang tak dapat diragukan lagi bahwa bercampur-baurnya sumber panduan itulah yang menjadi faktor utama mengapa generasi berikutnya berlainan sama sekali dari bentuk generasi pertama yang unggul itu.

Kedua, Para sahabat Rasulullah di dalam generasi pertama itu, belajar untuk dilaksanakan dengan segera dalam urusan hidup pribadinya dan hidup bermasyarakat. Mereka tidak mendekatkan diri dengan Al-Quran dengan tujuan mencari pelajaran dan bahan bacaan. Bukan juga dengan tujuan mencari hiburan dan penglipur lara. Tiada seorang pun dari mereka yang belajar Al-Quran dengan tujuan menambah bekal dan bahan semata-mata untuk ilmu dan bukan juga dengan maksud menambah akademik untuk mengisi dada dan otak mereka saja.

Belajar Untuk Dilaksanakan

Sikap inilah yang terbentuk: yaitu belajar untuk segera dilaksanakan, yang telah menambah luasnya lapangan hidup mereka, menambah luasnya ma'rifat dan pengalaman mereka dari ajaran Al-Quran yang tidak mungkin mereka capai kalau sekadar belajar dari Al-Quran dengan tujuan menyelidik dan mengkaji serta membaca saja. Sehingga, ia telah memudahkan mereka dalam bekerja dan meringankan beban mereka yang berat, karena Al-Quran telah menyatu dan men-darah daging.

Al-Quran tertanam kuat ke dalam jiwa mereka hingga meresap menjadi panduan dalam gerakan mereka, ia melahirkan pelajaran yang menggerakkan aktivitas, pelajaran yang tidak lagi merupakan teori yang bersarang di dalam kepala manusia dan di halaman kertas dan buku-buku saja. Bahkan ia menjadi kenyataan yang melahirkan kesan dan peristiwa yang mengubah garis hidup.

Al-Quran akan memberi dan mencurahkan isi perbendaharaannya kepada orang yang datang bertumpu kepadanya dengan ruh dan jiwa ini: yaitu ruh dan jiwa ma'rifat yang membuahkan amal dan tindakan.

Tidak syak lagi bahwa faktor kedua inilah bukti sebab utama generasi cemerlang tersebut. Dia merasakan ketika pertama kali menganut Islam, itulah zaman baru dalam hidupnya; terpisah sejauh-jauhnya dari hidupnya yang lampau di zaman jahiliyah. Sikapnya terhadap segala sesuatu yang berlaku di zaman jahiliyah dahulu ialah sikap seorang yang sangat berhati-hati dan berwaspada.

Dia merasakan bahwa segala sesuatu di zaman jahiliyah dahulu adalah kotor dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dia merasakan dari lubuk hatinya bahwa dia perlu membersihkan dirinya dari apa yang berlaku itu; lalu dia berusaha sedaya upaya mengikuti panduan yang digariskan oleh Al-Quran. Dia melepas total dengan tata hidup masyarakat jahiliyah dahulu dan berhubungan langsung selama-lamanya dengan masyarakat Islam; walaupun kelihatan pada lahirnya dia sering berhubungan dengan orang-orang musyrik dalam perdagangan dan pergaulan hidup seharian, tetapi perpisahan perasaan dan pergaulan hidup seharian adalah dua hal yang berlainan dan berbeda sekali.

Di sana tiada risiko yang akan ditempuh selain dari ujian dan penderitaan. Namun demikian, mereka secara otomatis telah bertekad bulat untuk tidak akan kembali lagi kepada kebiasaan dan perilaku jahiliyah, buat selama-lamanya.
Kita sekarang sedang berada di tengah-tengah suasana jahiliyah yang serupa dengan suasana jahiliyah yang ada pada zaman kedatangan Islam dahulu. Bahkan, lebih gelap lagi.

Segala sesuatu di sekitar kita ialah jahiliyah konsep hidup manusia sekarang, akidah kepercayaan mereka, adat istiadat dan kebiasan mereka, sumber pelajaran seni dan sastera mereka, peraturan dan undang-undang mereka, hingga banyak perkara yang kita anggap sebagai pelajaran Islam, buku rujukan Islam, falsafah Islam dan pemikiran Islam sebenarnya adalah hasil ciptaan jahiliyah!

Kita mesti kembali ke pangkal jalan, kepada sumber yang murni yang telah digali dan ditimba oleh orang-orang sebelum kita; yaitu sumber yang terjamin tidak bercampur baur dengan sumber yang lain.

Kita mesti kembali kepada Al-Quran untuk mendapatkan teori mengenai hakikat wujud seutuhnya dan juga hakikat wujudnya umat manusia dan segala hubungan di antara kedua jenis wujud ini dengan wujud yang hakiki, yaitu wujud Allah SWT.

Bila kita kembali kepada Al-Quran, maka kita mestilah kembali berdasarkan kaedah dan dasar “belajar untuk dilaksanakan”, bukan dengan kaedah dan dasar belajar untuk sekadar pengetahuan dan menglipur lara. Dan di dalam perjalanan itu, kita akan bertemu dengan keindahan seni Al-Quran, dengan cerita dan kisah yang heroik dan juga dengan pandangan-pandangan kiamat di dalam Al-Quran, juga dengan logika kesedaran hati nurani di dalam Al-Quran, dan juga dengan semua yang dicari-cari oleh para peneliti...

Karena jalan kita adalah berlainan dan bersimpangan dengan jalan jahiliyah. Seandainya kita mencoba berjalan seiring dengannya, walaupun cuma selangkah, niscaya kita kehilangan pedoman dan kita akan meraba dalam kesesatan.
Dalam hal ini, kita akan menempuh berbagai bentuk kesusahan dan penderitaan, kita akan menyumbangkan pengorbanan yang besar dan dahsyat. Dan ini suatu pilihan yang tidak ada pilihan lain kalau kita benar-benar hendak mengikuti langkah generasi pertama yang ditampilkan oleh Allah, yang telah menghancur dan memusnahkan jalan jahiliyah itu.

Adalah baik sekali bagi kita untuk tetap menyadari bentuk program dan landasan kita, menyadari tabiat sikap kita dan juga tabiat jalan yang mesti kita lalui agar dapat keluar dari suasana jahiliyah seperti yang telah dilalui oleh generasi yang agung dan unik itu.

Disadur: Ma’aalim Fith Thariiq
Sayyid Quthb

0 comments:

Post a Comment